Minggu, 23 September 2012

DIMENSI PARA INSAN

Berfilsafat sejatinya selalu dilakukan oleh setiap manusia. Tanpa menyadarinya, berfilsafat adalah hal yang rutin dilakukan. Filsafat dimulai dari pertanyaan “mengapa”, merasa ragu ataupun merasa heran. Merasa takjub akan sesuatu juga merupakan awal berfilsafat, tetapi takjub yang dimaksud bukanlah takjub yang extraordinary seperti terciptanya bom nuklir. Takjub dalam berfilsafat lebih melihat dari hal-hal kecil dan sederhana seperti mengapa mata bisa berkedip. Ketakjuban itu sendiri terkait dengan objek dan subyek yang ada diluarnya. Seperti kata Descrates bahwa diriku adalah fikiranku. Jika ketakjuban akan sesuatu membuahkan suatu pemikiran dan menemukan jawaban, maka itulah sebenar-benarnya diri kita yang mampu menerjemahkan apa yang kita fikirkan dengan level masing-masing diri.

Seperti halnya memikirkan nyawa ataupun mimpi. Seberapa jauh kita memikirkannya Dan menterjemahkannya itulah sebenar-benarnya diri kita. Karena itu nyawa ataupun mimpi merupakan obyek fikir yang berdimensi, subyeknya yang berdimensi dan metodenya yang berdimensi. Subyek yang lebih tinggi dari manusia adalah malaikat dan metode yang paling tinggi adalah metode spiritual. Maka dari itu apa yang dapat kita fikirkan dan  kerjakan, lakukan dengan tingkat level yang kita miliki. Fikiran manusia untuk mengingat sesuatu juga meiliki dimensi atau tingkatan yang berbeda. Cara yang terbaik agar ingatan tidak menuju level semakin rendah adalah dengan berinteraksi kepada yang ada dan mungkin ada seperti membaca, berinteraksi dengan orang lain dan menambah wawasan melalui TV ataupu radio.

Perbedaan dimensi dan level yang ada karena kita memiliki olah fikir. Manusia diturunkan kebumi dengan dibekali olah fikir yang cukup sehingga kita dapat memikirkan bahwa sebenarnya manusia tidak ada yang sama. Jika menyamakan satu dengan yang lainnya itulah sebenar-benarnya yang dzalim (kejam). Tetapi jika kita memasuki ranah Tuhan, semua ciptaan tuhan termasuk manusia itu tidak ada yang berbeda. Kita tidak akan menemukan perbedaan apapun jika masih membicarakannya dalam lingkup tersebut. Maka sebenarnya Perbedaan itu kontekstual, dilihat dari setiap ranahnya memiliki arti yang berbeda. Perbedan akan menjadi baik jika kita menggunakanya pada ranah antar manusia dan perbedaan akan menjadi buruk jika kita melihatnya melalu ranah Tuhan.

Dan bagaimana degan kebaikan dan keburukan? Bagaimana membedakannya? Jelas ada perbedaan kebaikan dan keburukan, letak perbedaannya adalah dari ilmu yang kita miliki. Setinggi-tingginya ilmu adalah jika kita membaginya kepada orang banyak dalam kerangka untuk beribadah dan serendah-rendahnya ilmu adalah jika hanya disimpan untuk diri sendiri. Seburuk-buruknya jika kita tidak menginginkan ilmu bahkan untuk diri sendiri. Tolok ukur dari kebaikan dan keburukan ilmu ini dapat dilihat dari kiprahnya yang bermanfaat untuk orang lain atau tidak. Tetapi harus diingat bahwa setinggi-tingginya kebaikan dalam mencari ilmu akan selalu lebih tinggi lagi dengan kebaikan mencari keikhlasan. Maka dari itu tetaplah menjadi orang yang ikhlas agar selalu merasa dekat dengan Tuhan.

PERTANYAAN
Mengapa Paradigma/mindset yang diyakini orang banyak pada akhirnya akan menjadi suatu peraturan yang harus diikuti? Bagaimana dengan mereka yang tidak sepaham, jika menentang akan dianggap “aneh” bahkan terkadang dijauhi oleh orang lain?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar