Berfilsafat
sejatinya selalu dilakukan oleh setiap manusia. Tanpa menyadarinya, berfilsafat
adalah hal yang rutin dilakukan. Filsafat dimulai dari pertanyaan “mengapa”,
merasa ragu ataupun merasa heran. Merasa takjub akan sesuatu juga merupakan
awal berfilsafat, tetapi takjub yang dimaksud bukanlah takjub yang
extraordinary seperti terciptanya bom nuklir. Takjub dalam berfilsafat lebih
melihat dari hal-hal kecil dan sederhana seperti mengapa mata bisa berkedip.
Ketakjuban itu sendiri terkait dengan objek dan subyek yang ada diluarnya.
Seperti kata Descrates bahwa diriku adalah fikiranku. Jika ketakjuban akan
sesuatu membuahkan suatu pemikiran dan menemukan jawaban, maka itulah
sebenar-benarnya diri kita yang mampu menerjemahkan apa yang kita fikirkan
dengan level masing-masing diri.
Seperti halnya
memikirkan nyawa ataupun mimpi. Seberapa jauh kita memikirkannya Dan
menterjemahkannya itulah sebenar-benarnya diri kita. Karena itu nyawa ataupun
mimpi merupakan obyek fikir yang berdimensi, subyeknya yang berdimensi dan
metodenya yang berdimensi. Subyek yang lebih tinggi dari manusia adalah
malaikat dan metode yang paling tinggi adalah metode spiritual. Maka dari itu
apa yang dapat kita fikirkan dan
kerjakan, lakukan dengan tingkat level yang kita miliki. Fikiran manusia
untuk mengingat sesuatu juga meiliki dimensi atau tingkatan yang berbeda. Cara
yang terbaik agar ingatan tidak menuju level semakin rendah adalah dengan
berinteraksi kepada yang ada dan mungkin ada seperti membaca, berinteraksi
dengan orang lain dan menambah wawasan melalui TV ataupu radio.
Perbedaan
dimensi dan level yang ada karena kita memiliki olah fikir. Manusia diturunkan
kebumi dengan dibekali olah fikir yang cukup sehingga kita dapat memikirkan
bahwa sebenarnya manusia tidak ada yang sama. Jika menyamakan satu dengan yang
lainnya itulah sebenar-benarnya yang dzalim (kejam). Tetapi jika kita memasuki
ranah Tuhan, semua ciptaan tuhan termasuk manusia itu tidak ada yang berbeda.
Kita tidak akan menemukan perbedaan apapun jika masih membicarakannya dalam
lingkup tersebut. Maka sebenarnya Perbedaan itu kontekstual, dilihat dari
setiap ranahnya memiliki arti yang berbeda. Perbedan akan menjadi baik jika
kita menggunakanya pada ranah antar manusia dan perbedaan akan menjadi buruk
jika kita melihatnya melalu ranah Tuhan.
Dan bagaimana
degan kebaikan dan keburukan? Bagaimana membedakannya? Jelas ada perbedaan
kebaikan dan keburukan, letak perbedaannya adalah dari ilmu yang kita miliki.
Setinggi-tingginya ilmu adalah jika kita membaginya kepada orang banyak dalam
kerangka untuk beribadah dan serendah-rendahnya ilmu adalah jika hanya disimpan
untuk diri sendiri. Seburuk-buruknya jika kita tidak menginginkan ilmu bahkan
untuk diri sendiri. Tolok ukur dari kebaikan dan keburukan ilmu ini dapat
dilihat dari kiprahnya yang bermanfaat untuk orang lain atau tidak. Tetapi
harus diingat bahwa setinggi-tingginya kebaikan dalam mencari ilmu akan selalu
lebih tinggi lagi dengan kebaikan mencari keikhlasan. Maka dari itu tetaplah
menjadi orang yang ikhlas agar selalu merasa dekat dengan Tuhan.
PERTANYAAN
Mengapa
Paradigma/mindset yang diyakini orang banyak pada akhirnya akan menjadi suatu
peraturan yang harus diikuti? Bagaimana dengan mereka yang tidak sepaham, jika
menentang akan dianggap “aneh” bahkan terkadang dijauhi oleh orang lain?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar